
ENDE - Ribuan warga Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), membanjiri jalan-jalan kota pada Kamis (5/6) untuk menyuarakan penolakan terhadap pembangunan proyek geothermal di Flores. Aksi demonstrasi yang bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia ini diikuti oleh sekitar dua ribu orang yang berjalan dari Jalan Eltari menuju Gedung DPRD dan Kantor Bupati Ende. Massa yang didampingi para rohaniwan Katolik itu membawa spanduk bertuliskan penolakan terhadap geothermal sambil terus meneriakkan tuntutan mereka.
Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pengeboran geothermal yang telah berlangsung sejak tahun 2000-an. Warga mengeluhkan pencemaran air dan udara yang berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian, termasuk komoditas utama seperti kopi, cengkih, dan sayuran yang menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat setempat. Vikaris Episkopal (Vikep) Ende, Romo Frederikus Wea Dopo, menjelaskan bahwa 78 persen warga Ende adalah petani yang sangat bergantung pada kelestarian hutan, tanah, dan air. "Flores bukan pulau geothermal. Tanah dan air kami adalah sumber kehidupan yang tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan proyek energi," tegas Romo Frederikus di tengah kerumunan massa.
Ia mencontohkan kasus di Desa Sukoria, Kabupaten Ende, di mana 90 persen warga mengalami gangguan akibat proyek geothermal. Tanaman pertanian tidak lagi tumbuh subur, sementara kualitas air semakin menurun. Selain dampak lingkungan, proyek ini juga memicu konflik horizontal dan mengancam kelestarian budaya masyarakat Flores yang sangat bergantung pada hasil bumi. "Kami menuntut DPRD dan pemerintah segera mencabut status Flores sebagai pulau geothermal," serunya.
Para pengunjuk rasa juga menyayangkan kurangnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan geothermal. Menurut mereka, proyek ini hanya dibahas oleh segelintir pejabat dan korporasi tanpa melibatkan warga setempat. "Ini bukan energi terbarukan untuk Flores. Kami punya alternatif lain seperti tenaga air, angin, matahari, biomassa, dan arus laut yang lebih ramah lingkungan," tambah Romo Frederikus.
Aksi ini semakin panas ketika massa berhasil memasuki halaman Kantor Bupati dan DPRD Ende untuk menyampaikan aspirasi secara langsung. Mereka menuntut pemerintah pusat mencabut keputusan yang menetapkan Flores sebagai pulau geothermal dan menghentikan seluruh aktivitas pengeboran yang dianggap membahayakan keselamatan warga. "Pemerintah tidak pernah meminta persetujuan kami. Ini tindakan sepihak yang merampas hak hidup kami," teriak salah seorang pengunjuk rasa.
Massa mengancam akan menggelar aksi yang lebih besar jika tuntutan mereka tidak dipenuhi. Mereka juga meminta gereja untuk terus mendampingi perjuangan masyarakat dalam mempertahankan lingkungan hidup. "Gereja harus hadir sebagai pembela keadilan ekologis. Ini adalah panggilan iman kami," tegas Romo Frederikus.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah daerah maupun pusat terkait tuntutan warga. Aksi damai ini berlangsung tertib dan baru berakhir pada sore hari setelah perwakilan warga diterima oleh pihak DPRD setempat.
Kasus di Ende ini bukan yang pertama terjadi. Sejumlah daerah lain di Indonesia juga kerap memprotes pembangunan geothermal dengan alasan serupa. Namun, penolakan di Flores terasa lebih kuat karena melibatkan elemen gereja dan masyarakat adat yang sangat menjaga kelestarian alam sebagai bagian dari identitas budaya mereka.
Para ahli energi terbarukan menyarankan pemerintah untuk lebih memperhatikan dampak sosial dan lingkungan dalam pengembangan geothermal. "Energi bersih harusnya tidak mengorbankan lingkungan dan masyarakat lokal. Perlu kajian mendalam dan dialog partisipatif sebelum proyek semacam ini dilaksanakan," ujar salah seorang pakar energi dari Universitas Nusa Cendana.
Dengan luapan emosi yang masih membara, warga Ende bertekad untuk terus memperjuangkan hak mereka atas lingkungan yang sehat dan berkelanjutan. Mereka berharap suara ribuan orang yang turun ke jalan kali ini tidak lagi diabaikan oleh pemerintah.