
MAKKAH - Sebanyak 175 jemaah haji Indonesia dilaporkan wafat hingga hari ke-39 operasional haji 2025. Dari jumlah tersebut, 170 merupakan jemaah haji reguler, sedangkan lima lainnya adalah jemaah haji khusus. Mayoritas kematian disebabkan oleh penyakit jantung, pernapasan akut, dehidrasi, dan kegagalan organ akibat infeksi berat.
Data ini disampaikan Kepala Bidang Kesehatan Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, dr. Imran, di Makkah, Minggu (8/6). Ia merinci bahwa 77 jemaah meninggal karena penyakit jantung, 15 karena infeksi berat, serta masing-masing 11 jemaah akibat gangguan pernapasan akut dan dehidrasi.
Meski jumlah kematian menurun dibandingkan tahun lalu ketika pada hari operasional yang sama tercatat 190 jemaah wafat, angka ini tetap mengkhawatirkan dan menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas mitigasi kesehatan dalam penyelenggaraan haji.
Kematian akibat penyakit jantung dan dehidrasi bukan fenomena baru dalam ibadah haji. Namun, tingginya angka tersebut memperlihatkan bahwa edukasi dan screening kesehatan sebelum keberangkatan belum cukup menekan risiko fatal di lapangan. Kondisi cuaca ekstrem, kelelahan fisik, serta kepadatan aktivitas ibadah disebut sebagai faktor yang memperburuk kondisi jemaah dengan penyakit kronis.
Sementara itu, PPIH menyatakan terus berupaya melakukan pencegahan melalui penyuluhan kesehatan, penyediaan layanan medis, dan pendampingan bagi jemaah risiko tinggi. Namun, efektivitas langkah-langkah tersebut masih perlu evaluasi lebih lanjut mengingat jumlah korban yang tetap signifikan.
Tidak cukup hanya berharap sehat, kebijakan proaktif diperlukan. Pemerintah diminta lebih serius dalam meningkatkan standar pra-keberangkatan, seperti pengetatan syarat kesehatan, pengawasan obat pribadi, serta simulasi fisik haji bagi lansia dan jemaah risiko tinggi. Tanpa intervensi sistemik, angka kematian dikhawatirkan akan tetap tinggi dari tahun ke tahun.
“Kami terus berikhtiar dan berharap kepada Allah semoga jemaah haji Indonesia terus dalam keadaan sehat dan bisa pulang ke Tanah Air,” ungkap dr Imam. Namun, harapan saja tidak cukup, butuh kebijakan berbasis data dan keberanian untuk menyesuaikan skema haji dengan kapasitas kesehatan jemaah.