
SEMARANG - Gedung Lawang Sewu yang megah di Jalan Pemuda Nomor 160, Semarang, Kamis (29/5) pagi tampak berbeda dari biasanya. Ribuan umat Kristiani dari berbagai penjuru memadati pelataran bangunan ikonik peninggalan kolonial Belanda ini untuk mengikuti perayaan Hari Kenaikan Yesus Kristus. Suara lantunan pujian dan iringan tarian Tamborin mengalun khidmat di antara arsitektur kuno yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah kota Semarang.
Menurut Otnial Eko Pamiarso, Manager Historical Building and Museum PT KAI Pariwisata, ini merupakan kali pertama Lawang Sewu digunakan sebagai tempat ibadah bersama lintas gereja.
"Kami ingin menunjukkan bahwa Lawang Sewu bisa menjadi wadah pemersatu masyarakat. Ini bentuk nyata dukungan kami terhadap persatuan dalam keragaman sesuai semangat Bhinneka Tunggal Ika," ujar Otnial dengan penuh semangat.
Perayaan yang berlangsung sejak pagi hari itu dihadiri sekitar 2.000 jemaat dari berbagai daerah. Meski mayoritas berasal dari Semarang, tak sedikit yang datang dari kota-kota lain di Jawa Tengah seperti Tegal dan Purwokerto, bahkan ada yang datang jauh-jauh dari Surabaya.
"Sekitar 80 persen peserta berasal dari Semarang, sisanya dari berbagai kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur," jelas Otnial sambil memperhatikan kerumunan jemaat yang masih terus berdatangan.
Ibadah dipimpin oleh Pendeta Yohanes S. Praptowarso, Ph.D., yang menyampaikan khotbah penuh makna tentang makna kenaikan Yesus Kristus dalam kehidupan umat beriman. Suasana semakin hikmat ketika seluruh jemaat bersama-sama menyanyikan lagu rohani, suara mereka bergema di antara pilar-pilar tua Lawang Sewu yang biasanya lebih sering dikunjungi para wisatawan.
Klara, salah seorang peserta ibadah asal Merauke yang kini menetap di Ungaran, mengungkapkan rasa syukurnya bisa beribadah di tempat bersejarah ini.
"Ini benar-benar berkat yang tak terduga. Saya bersama rombongan dari Gereja PGI Ungaran merasa terhormat bisa beribadah di Lawang Sewu untuk pertama kalinya," kata mahasiswa Universitas Ngudi Waluyo itu dengan mata berbinar.
Tak hanya menjadi tempat ibadah umat Kristiani, Lawang Sewu juga akan menjadi saksi toleransi beragama lainnya. Otnial mengungkapkan bahwa pada 6 Juni 2025 mendatang, bangunan ini akan digunakan untuk pelaksanaan ibadah Idul Adha yang diperkirakan dihadiri sekitar 5.000 umat Muslim.
"Lawang Sewu terbuka untuk semua agama. Ini bentuk komitmen kami dalam mendukung toleransi di Indonesia," tegasnya.
Pemilihan Lawang Sewu sebagai tempat ibadah ternyata memiliki makna khusus. Gedung yang dibangun tahun 1904 ini memang memiliki sejarah panjang sebagai simbol perjuangan dan kini bertransformasi menjadi simbol persatuan. Dari masa kolonial Belanda yang digunakan sebagai kantor kereta api, kemudian menjadi markas militer Jepang, hingga kini menjadi destinasi wisata yang mengedepankan nilai-nilai toleransi.
Bagi banyak jemaat yang hadir, beribadah di Lawang Sewu bukan sekadar pengalaman spiritual biasa. Seperti yang diungkapkan Klara, momen ini menjadi kesempatan untuk refleksi diri dan memperbarui komitmen hidup. "Semoga melalui ibadah di tempat bersejarah ini, kita semua bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi," harapnya sambil menatap megahnya bangunan Lawang Sewu yang berdiri kokoh.
Dinas Pariwisata Semarang menyambut baik inisiatif penggunaan Lawang Sewu sebagai tempat ibadah. Mereka melihat ini sebagai terobosan baru yang bisa memadukan nilai sejarah, pariwisata, dan religi sekaligus. Ke depan, tidak menutup kemungkinan Lawang Sewu akan lebih sering digunakan untuk acara-acara serupa yang mengedepankan nilai-nilai persatuan dalam keberagaman.
Perayaan Kenaikan Isa Almasih di Lawang Sewu ini tidak hanya meninggalkan kesan mendalam bagi para jemaat yang hadir, tetapi juga menjadi bukti nyata bahwa bangunan bersejarah bisa menjadi jembatan penghubung antar umat beragama. Sebuah pesan toleransi yang kuat dari kota Semarang untuk seluruh Indonesia.