
Jeddah – Ribuan calon jemaah haji asal Indonesia yang gagal berangkat akibat visa furoda tidak terbit memunculkan pertanyaan besar tentang perlindungan negara terhadap warganya. Meski skema haji furoda atau visa mujamalah berlangsung secara business to business (B2B) antara travel Indonesia dan pihak Arab Saudi, negara tetap tak bisa lepas tangan.
Hal ini ditegaskan oleh Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Abdul Fikri Faqih, saat mendampingi pemantauan persiapan layanan haji di Jeddah, Arab Saudi, Sabtu (31/5).
“Faktanya, visa furoda atau undangan (mujamalah) ini memang ada dan digunakan oleh masyarakat Indonesia. Meski secara formal tidak dikelola pemerintah, negara tetap harus hadir memastikan perlindungan hukum bagi jemaah, terutama saat mereka dirugikan,” ujar Fikri kepada Parlementaria.
Fikri, yang juga anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKS, menilai insiden gagalnya keberangkatan lebih dari 1.000 calon jemaah haji furoda tahun ini sebagai momentum penting untuk merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Menurut Fikri, walau haji furoda dilaksanakan secara mandiri tanpa melalui kuota resmi pemerintah, para calon jemaah tetap merupakan warga negara Indonesia yang harus mendapatkan perlindungan hukum. Ia mencontohkan praktik umrah mandiri yang juga bersifat terbuka, namun tetap berada dalam pengawasan pemerintah untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan jemaah.
“Ini bukan sekadar urusan bisnis. Ini soal kehadiran negara untuk melindungi hak-hak warga, khususnya mereka yang sudah menunaikan kewajiban finansial dan berniat melaksanakan ibadah suci,” tegasnya.
DPR, lanjut Fikri, telah mendorong agar pemerintah melalui Kementerian Agama tidak hanya bersikap pasif, tetapi aktif mengawasi pelaksanaan visa non-kuota seperti furoda. Terutama dalam hal transparansi mitra penyelenggara, mekanisme pengembalian dana, dan skema perlindungan hukum jika terjadi kegagalan berangkat.
Terkait polemik yang terjadi tahun ini, Kementerian Agama menyatakan bahwa pihaknya telah memanggil sejumlah perusahaan travel penyelenggara haji furoda untuk dimintai pertanggungjawaban. Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, Nur Alya Fitra, memastikan bahwa pemerintah akan mengawal proses pengembalian dana atau pengalihan keberangkatan ke tahun depan bagi jemaah yang gagal.
“Revisi UU Penyelenggaraan Haji dan Umrah sedang kami bahas bersama DPR RI, termasuk memasukkan klausul pengawasan dan perlindungan terhadap jemaah visa non-kuota seperti furoda dan mujamalah,” ungkap Nur Alya.
Kemenag juga tengah mematangkan regulasi teknis untuk memperketat persyaratan travel penyelenggara haji furoda dan menambah unsur pengawasan yang melibatkan otoritas hukum dan perlindungan konsumen.
Kegagalan berangkatnya jemaah furoda tahun ini menjadi alarm serius. Banyak di antara mereka telah membayar biaya haji hingga ratusan juta rupiah, namun gagal mendapatkan visa karena pihak penyelenggara tidak mampu memenuhi persyaratan otoritas Arab Saudi.
Fikri berharap revisi regulasi tidak hanya mengatur sanksi dan pengawasan, tetapi juga mendorong transparansi informasi kepada masyarakat tentang legalitas, risiko, dan prosedur yang jelas bagi jalur haji di luar kuota resmi.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa jalur ini tetap diminati. Maka negara harus menyikapi secara proporsional: tidak mematikan jalur mandiri, tetapi menjamin keselamatan dan kejelasan hak jemaah. Ini bentuk nyata negara hadir untuk rakyatnya,” pungkasnya.