
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan turun tangan menangani kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak terhadap 24 karyawan sebuah perusahaan distributor cokelat di Kota Bekasi. Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel menyatakan pihaknya akan memberikan bantuan dan pendampingan hukum bagi karyawan yang menjadi korban pemecatan sepihak tersebut.
"Kami akan bantu menyelesaikan masalah ini. Sangat disayangkan bila benar terjadi pemecatan sepihak tanpa prosedur yang benar. Kasihan nasib pekerja yang menjadi korban," tegas Noel, Selasa (3/6).
Lebih lanjut, Noel menyoroti fakta bahwa 23 dari 24 karyawan yang di-PHK merupakan pengurus dan anggota serikat pekerja di perusahaan tersebut, yang mengindikasikan adanya dugaan praktik union busting atau upaya pemberangusan serikat pekerja.
Kasus ini bermula ketika pada 14 April 2025, 24 karyawan dipanggil oleh pihak SDM perusahaan. Dalam pertemuan tersebut, mereka langsung diberikan surat PHK tanpa melalui proses surat peringatan atau sosialisasi terlebih dahulu.
Surat yang bertanggal 14 April itu menyatakan masa kerja mereka berakhir pada 15 April 2025, atau hanya sehari setelah pemberitahuan. Para karyawan menolak menandatangani surat tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan prosedur.
Setelah aksi PHK sepihak ini, serikat pekerja perusahaan berusaha melakukan dialog informal dengan manajemen. Namun dalam pertemuan tersebut, perusahaan bersikukuh bahwa keputusan PHK adalah final dan tidak dapat ditinjau ulang.
Hingga 28 Mei 2025, seluruh karyawan yang terkena PHK telah dinonaktifkan dari sistem absensi perusahaan dan tidak lagi menerima upah bulanan. Yang lebih memprihatinkan, mereka juga tidak mendapatkan kompensasi apapun atas pemutusan hubungan kerja tersebut.
Noel menegaskan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan akan memonitor dan mengawal penyelesaian kasus ini secara serius.
"Jika benar ada indikasi union busting, ini termasuk pelanggaran berat dalam hubungan industrial," tegasnya.
Pihaknya akan memastikan perusahaan memenuhi semua hak normatif karyawan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.
Kasus ini menimbulkan keprihatinan berbagai pihak karena melibatkan karyawan yang sebagian besar telah bekerja selama dua dekade lebih di perusahaan tersebut. Beberapa korban mengaku merasa dikhianati setelah puluhan tahun mengabdi, tiba-tiba dipecat tanpa alasan jelas dan prosedur yang semestinya.
Federasi Serikat Pekerja makanan dan minuman menyatakan akan mendampingi korban hingga tuntutan mereka dipenuhi. Mereka menilai kasus ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Konvensi ILO tentang kebebasan berserikat.
Pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, menjelaskan bahwa PHK sepihak tanpa melalui prosedur yang benar dapat dikategorikan sebagai pemutusan hubungan kerja yang tidak sah.
"Perusahaan wajib membayar seluruh hak pekerja termasuk uang pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak lainnya," jelasnya.
Sementara itu, perusahaan melalui perwakilan hukumnya menyatakan bahwa PHK dilakukan sebagai bagian dari program efisiensi perusahaan. Namun, argumen ini dibantah oleh serikat pekerja yang menilai pemecatan hanya menyasar anggota serikat pekerja.
Kementerian Ketenagakerjaan berjanji akan segera memanggil kedua belah pihak untuk mediasi dan mencari penyelesaian terbaik. Jika mediasi gagal, kasus ini akan dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mendapatkan keputusan yang mengikat.