
RAJA AMPAT - Pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperketat pengawasan terhadap lima perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Meski seluruh perusahaan mengantongi izin, sebagian besar belum sepenuhnya memenuhi syarat lingkungan hidup, sementara aktivitas penambangan terus berlangsung di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan rusak.
Dari lima perusahaan yang beroperasi, dua di antaranya mendapat izin dari pemerintah pusat, yakni PT Gag Nikel dan PT Anugerah Surya Pratama (ASP). Sementara tiga lainnya yakni PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham berizin dari Bupati Raja Ampat. Namun, pengawasan menunjukkan bahwa sebagian perusahaan, terutama yang berizin daerah, belum memiliki dokumen AMDAL atau persetujuan lingkungan yang memadai.
PT Gag Nikel, yang telah berproduksi sejak 2017 di Pulau Gag dengan izin hingga 2047, disebut telah membuka lahan tambang seluas 187,87 hektar, namun baru 135,45 hektar yang direklamasi. Perusahaan ini juga belum dapat membuang air limbah karena masih menunggu Sertifikat Laik Operasi (SLO).
PT ASP, yang beroperasi di Pulau Manuran, juga memiliki dokumen lingkungan sejak 2006. Namun perhatian publik meningkat karena dokumen tersebut terbit sebelum banyak regulasi lingkungan terkini berlaku.
Kondisi lebih mengkhawatirkan terlihat di tiga perusahaan yang berizin dari pemerintah daerah. PT MRP dan PT Nurham belum memulai produksi, tetapi juga belum mengantongi dokumen AMDAL atau persetujuan lingkungan terkini. Sementara PT KSM diketahui telah memulai kegiatan produksi pada 2023 namun saat ini berhenti beroperasi, meskipun memiliki IPPKH dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sejak 2022.
Langkah pengawasan ini dipertegas oleh kunjungan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia ke Pulau Gag, Sabtu (7/6), untuk meninjau langsung aktivitas tambang PT Gag Nikel serta mendengarkan keluhan masyarakat. Bahlil menyatakan akan memverifikasi informasi lapangan melalui tim inspektur tambang.
“Semua data dan laporan akan dikaji. Kami tidak ingin ada aktivitas pertambangan yang merusak ekosistem laut dan pesisir. Raja Ampat ini aset dunia,” tegasnya.
Evaluasi terhadap seluruh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di Raja Ampat akan dilakukan menyeluruh. Pemerintah mengacu pada Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang menekankan pentingnya reklamasi berbasis manfaat teknis, sosial, dan ekologi.
Meski menyatakan komitmen terhadap pengawasan berkelanjutan, pemerintah belum memberikan informasi tegas mengenai sanksi atau penertiban terhadap perusahaan yang tidak memenuhi standar lingkungan. Hal ini menimbulkan pertanyaan soal efektivitas penegakan hukum di wilayah konservasi global seperti Raja Ampat.