
Kasus kanker paru-paru pada orang yang tidak merokok menunjukkan peningkatan signifikan, berbeda dengan kasus terkait kebiasaan merokok yang relatif stabil. Fenomena ini memicu pertanyaan besar di kalangan peneliti dan tenaga medis mengenai penyebab di baliknya.
Seorang pasien bernama Martha (59) awalnya didiagnosis mengalami peradangan paru-paru kronis, namun pemeriksaan lebih lanjut mengungkap adanya kanker paru-paru stadium IIIA. Yang mengejutkan, Martha mengaku hanya sesekali merokok di acara sosial dan tidak termasuk kategori perokok aktif. Kasus seperti ini semakin banyak ditemui, mendorong para ahli untuk menyusun strategi pencegahan khusus.
Penelitian mengidentifikasi beberapa faktor risiko utama kanker paru-paru pada non-perokok. Paparan gas radon dan asap rokok dari lingkungan sekitar ternyata dapat meningkatkan risiko kanker meskipun seseorang tidak merokok secara aktif. Kegiatan rumah tangga seperti memasak dengan kompor berbahan bakar kayu atau batu bara di ruangan dengan ventilasi buruk juga berpotensi berbahaya, terutama bagi perempuan yang lebih banyak beraktivitas di dalam rumah.
Namun, polusi udara luar ruangan justru menjadi penyumbang risiko terbesar kedua setelah merokok. Partikel halus PM2.5 yang berasal dari asap kendaraan dan emisi bahan bakar fosil terbukti berkaitan erat dengan kasus kanker paru-paru pada non-perokok, khususnya mereka yang memiliki mutasi gen EGFR.
Penelitian terbaru dari Francis Crick Institute di London menemukan mekanisme unik bagaimana polusi udara memicu kanker. Alih-alih menyebabkan mutasi baru, partikel PM2.5 justru mengaktifkan sel paru-paru yang sudah membawa mutasi EGFR. Proses ini dimulai ketika makrofag (sel imun paru) menyerap partikel polusi dan melepaskan sitokin, yang kemudian merangsang pertumbuhan sel bermutasi.
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) mencatat kanker paru-paru pada non-perokok kini menjadi penyebab kematian akibat kanker tertinggi kelima dunia. Subtipe adenokarsinoma mendominasi kasus ini, dengan sekitar 200.000 kasus di tahun 2022 terkait langsung dengan polusi udara. Wilayah Asia Timur, terutama China, menanggung beban terbesar.
Dr. Freddie Bray dari IARC menekankan pentingnya pemantauan lebih intensif terhadap perubahan pola risiko kanker paru-paru. "Seiring menurunnya angka perokok di negara maju, kasus pada non-perokok justru meningkat," ujarnya. Temuan ini menyoroti perlunya upaya global untuk mengendalikan polusi udara sebagai bagian penting dari pencegahan kanker.