
SURABAYA – Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur mengungkap bahwa pembakaran Gedung Negara Grahadi dalam kerusuhan akhir Agustus lalu merupakan aksi yang direncanakan. Sebanyak sembilan orang telah ditetapkan sebagai tersangka, dengan mayoritas pelaku masih berstatus anak-anak.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, menegaskan aksi pembakaran yang terjadi pada Sabtu (30/8/2025) malam itu bukanlah tindakan spontan. "Peristiwa itu sudah direncanakan jauh sebelum api melalap ruangan-ruangan di sisi Barat Grahadi," ujarnya dalam konferensi pers di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (5/9/2025).
Berdasarkan penyelidikan, satu tersangka dewasa berinisial AEP (20), warga asal Maluku yang berdomisili di Sidoarjo, diduga sebagai otak pelaku. Ia disebut membuat lima bom molotov, mengajak empat anak untuk membantu, dan melibatkan empat anak lainnya sebagai pelaku eksekusi.
"Sebelum melancarkan aksi, para tersangka terlebih dahulu berkumpul di Lapangan Bumi Cabean Asri, Candi, Sidoarjo. Di lokasi itulah mereka menyusun rencana dan sepakat membuat bom molotov," jelas Jules.
Pada Sabtu, 30 Agustus 2025, sekitar pukul 21.00 WIB, molotov tersebut dilemparkan ke Gedung Grahadi dan memicu kebakaran besar. Api menyebabkan kerusakan parah pada sejumlah ruangan penting, termasuk ruang kerja Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak, ruang Kepala Biro Umum, Protokol, Biro Rumah Tangga, dan ruang kerja Pokja wartawan.
Jules juga membantah bahwa aksi perusahan ini dilakukan oleh massa demonstran. Menurutnya, unjuk rasa mahasiswa di Grahadi, Polda, dan Polrestabes Surabaya berlangsung damai, namun diinfiltrasi oleh kelompok perusuh.
“Dari pengembangan penyidikan, kami menemukan kelompok lain yang berkoordinasi lewat WhatsApp untuk mengajak melakukan kerusuhan. Mereka tidak bertujuan berdemo, tapi memang ingin membuat kekacauan,” tegasnya.
Polda Jatim mengimbau masyarakat tidak terprovokasi oleh spekulasi dan unggahan viral di media sosial pascakerusuhan. Jules menegaskan bahwa pihaknya terus berkoordinasi dengan pemerintah provinsi, TNI, ormas, dan tokoh agama untuk menjaga kondusivitas keamanan di Jawa Timur.