Di tengah-tengah ekonomi yang saat ini semakin sulit
dan juga pelemahan daya beli, masyarakat tetap saja menghambur-hamburkan uang
untuk membeli kebutuhan yang tidak terlalu penting.
Barang-barang yang sering dibeli merupakan barang yang
bersifat tersier, yang tidak sepenuhnya diperlukan, seperti mobil, handphone,
tiket konser hingga pakaian-pakaian yang branded.
Dengan membeli barang-barang tersebut, mereka
merasakan kesenangan, ketimbang mencoba menahan dan menghentikan keinginan
untuk membeli barang – barang tersebut.
Belakangan ini di Indonesia ada fenomena Lipstick
Effect. Fenomena Lipstick Effect merupakan
refleksi bagaimana masyarakat beradaptasi untuk menghadapi tekanan ekonomi.
Dalam hal ini, masyarakat cenderung mengubah cara mereka mengonsumsi barang.
Fenomena ini terjadi ketika konsumen mengalihkan pola
belanja. Mereka beralih dari membeli barang – barang mewah, dan membeli barang
– barang yang murah atau terjangkau. Namun, tetap memberikan kepuasan terhadap
konsumen walaupun dalam ekonomi yang sulit.
Hal ini, bukan soal konsumsi barang yang “sedikit
mewah” namun lebih murah. Namun juga mencerminkan sikap bertahan dan juga
mencari harapan di tengah masa-masa yang sulit.
Masyarakat ingin, walaupun tidak bisa merasakan dan
tidak memiliki barang dengan kemewahan yang besar, setidaknya dapat merasakan
kebahagiaan dari barang-barang yang sedikit mewah.
Fenomena ini mencerminkan naiknya permintaan barang
yang tidak menjadi kebutuhan pokok saat jelang resesi ekonomi. Dan di sisi
lain, lapangan kerja menjadi sulit, harga barang menjadi naik, pajak pun juga
ikut menjadi naik.
Kecenderungan masyarakat dalam membeli barang mewah,
atau melihat konser hingga ke luar negeri, merupakan bentuk dari pencarian
jalan keluar dari depresi ekonomi yang
dialami.