Hari pertama Presiden Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat, langsung mendapatkan kritikan tajam. Tak tanggung-tanggung, yang mengkritik adalah pemuka agama, Uskup Mariann Edgar Budde dari Keuskupan Episkopal Washington.
Peristiwa tersebut terjadi pada Selasa lalu, 21 Januari 2025, selang sehari setelah pelantikan Trump. Kritikan Uskup Budde disampaikan pada upacara doa pelantikan di acara Katedral Nasional.
“Saya meminta Anda untuk berbelas kasihan kepada orang-orang di negara kita yang sekarang sedang ketakutan,” kata Uskup Budde, sambil pandangannya diarahkan kepada Trump sambil menarik napas. “Ada anak-anak gay, lesbian, dan transgender di keluarga Demokrat, Republik, dan independen, beberapa di antaranya takut akan keselamatan mereka,” lanjut Uskup Budde seperti ditulis di The New York Times edisi 22 Januari 2025.
Kritik terhadap Trump di awal pertama masa jabatannya sebagai presiden ini, apalagi disampaikan oleh pemuka agama sekaliber Uskup Budde, merupakan momen yang luar biasa. “Sebagian besar imigran bukan lah penjahat,” tandas Uskup Budde. “Saya meminta Anda untuk berbelas kasihan, Tuan Presiden, terhadap mereka di komunitas kita yang anak-anaknya takut orang tua mereka akan diambil, dan agar Anda membantu mereka yang melarikan diri dari zona perang dan penganiayaan di tanah mereka sendiri untuk menemukan belas kasihan dan sambutan di sini,”.
Trump yang saat itu duduk di barisan bangku pertama di Katedral Nasional Washington, tampak menunduk, lalu mengalihkan pandangannya. Wakil presiden JD Vance mengangkat alisnya dan beberapa kali menatap istrinya, Usha Vance, yang terus menatap ke depan ke arah Uskup.
Ketika Uskup Budde selesai, Trump terlihat mengatakan sesuatu kepada wakilnya, Vance, yang menggelengkan kepalanya karena kesal. Anggota keluarga Trump yang duduk tepat di belakang mereka tampak saling memandang, tampak gelisah. Eric Trump, putra tengah Trump, menggelengkan kepalanya.
Kritikan Uskup Budde disampaikan sehari setelah Trump mengeluarkan serangkaian perintah eksekutif yang berfokus pada hak transgender (LGBT) dan imigrasi. Soal LGBT, Trump membatalkan perintah eksekutif yang mempromosikan keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI) dan mempromosikan hak-hak bagi kaum LGBT dan ras minoritas. Sedangkan soal imigrasi, Trump juga meneken perintah yang menyatakan imigrasi illegal di perbatasan AS-Meksiko sebagai keadaan darurat nasional, menetapkan kartel kriminal sebagai organisasi teroris, dan menargetkan kewarganegaraan otomatis bagi anak-anak imigran kelahiran AS yang masuk ke negara itu secara illegal.
Tak lama setelah tengah malam, Trump balas mengkritik pernyataan Uskup Budde dan gerejanya dalam sebuah posting di Truth Social, meminta Uskup Budde dan gerejanya untuk meminta maaf dan mengatakan bahwa dia telah membuat pernyataan yang tidak pantas.
“Dia membawa gerejanya ke dunia politik dengan cara yang sangat tidak sopan,” tulis Trump. “Dia berbicara dengan nada yang kasar, tidak meyakinkan atau cerdas,” lanjutnya.
Menanggapi pernyataan Uskup Budde tentang imigrasi, Trump mengatakan, tanpa memberikan bukti, bahwa “sejumlah besar” imigran telah datang ke Amerika Serikat secara illegal dan membunuh banyak orang.
Dalam sebuah wawancara, Uskup Budde mengatakan bahwa dia tidak bermaksud menegur presiden. “Saya hanya ingin mengatakan, negara ini telah dipercayakan kepada Anda,” kata Uskup Budde. “Dan salah satu kualitas pemimpin adalah belas kasihan, bukan? Belas kasihan, dan memperhatikan orang-orang yang takut,” jelasnya.
Uskup Budde bukan satu-satunya pendeta terkemuka yang menyoroti ketakutan yang disebabkan oleh agenda Trump. Paus Fransiskus pada hari Minggu (19/1/2025) menyebut rencana Trump untuk melakukan deportasi massal sebagai aib. (the new york times/ms maulana).