
BALI - Para pengusaha hotel di Bali menghadapi tantangan berat akibat semakin banyaknya investor asing yang masuk ke segmen vila dan homestay. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Prof Tjok Oka Artha Ardhana Sukawati, mengungkapkan keluhan para anggotanya mengenai ketidakseimbangan persaingan ini. Menurutnya, investor asing dengan modal besar mampu mendominasi pasar akomodasi karena nilai investasi yang ditetapkan pemerintah bagi orang asing dinilai terlalu rendah.
"Kebijakan pusat tentang nilai investasi untuk orang asing di Indonesia, termasuk di Bali, sangat rendah. Ini memudahkan mereka menguasai pasar," kata Tjok Oka yang akrab disapa Cok Ace dalam keterangannya di Denpasar, Kamis (29/5).
Ia menjelaskan, investor asing tidak hanya menguasai segmen vila dan homestay, tetapi juga memiliki jaringan pemasaran global yang sulit ditandingi pengusaha lokal. Akibatnya, banyak pengusaha menengah dan hotel besar kesulitan bersaing.
Masuknya investor asing secara masif ke sektor vila dan homestay telah berdampak signifikan terhadap okupansi hotel-hotel di Bali. Data statistik menunjukkan kunjungan wisatawan ke Bali terus meningkat, namun angka hunian hotel tidak mengalami kenaikan yang sejalan.
Cok Ace menyoroti bahwa banyak wisatawan kini lebih memilih menginap di vila atau homestay milik investor asing yang menawarkan harga kompetitif dengan fasilitas mewah.
Sebelumnya, PHRI Bali telah mengidentifikasi empat faktor utama penurunan okupansi hotel. Pertama, banyak wisatawan yang hanya menjadikan Bali sebagai transit sebelum melanjutkan perjalanan ke destinasi lain seperti Gili Trawangan, Labuan Bajo, atau tempat wisata beyond Bali.
Kedua, sejak Pelabuhan Benoa menjalani renovasi, kapal-kapal pesiar yang singgah di Bali tidak berkontribusi pada okupansi hotel karena penumpangnya tetap menginap di kapal.
Faktor ketiga adalah maraknya vila-vila liar yang beroperasi tanpa izin lengkap. "Vila-vila ini tidak memenuhi standar perhotelan resmi tetapi tetap menerima tamu dengan harga murah," ujar Cok Ace.
Keempat, kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat menyebabkan penurunan kunjungan wisatawan bisnis dan acara MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) yang biasanya menyumbang angka hunian signifikan.
Dampak paling terasa terjadi di kawasan Nusa Dua, Kabupaten Badung, yang selama ini mengandalkan wisatawan MICE. Okupansi hotel di daerah ini dilaporkan turun 10-12 persen.
Sementara itu, kawasan Sanur di Denpasar dan Ubud di Gianyar masih relatif stabil karena mengandalkan wisatawan leisure yang cenderung lebih loyal terhadap penginapan tradisional.
Persoalan ini tidak hanya terjadi di Bali. PHRI Jakarta juga melaporkan penurunan kinerja industri perhotelan di ibu kota yang berpotensi memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Kondisi ini semakin mengkhawatirkan mengingat sektor pariwisata dan perhotelan merupakan penyumbang devisa dan lapangan kerja utama.
Cok Ace mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan investasi asing di sektor akomodasi, terutama terkait nilai investasi minimum dan proses perizinan. Ia juga meminta penertiban terhadap vila-vila liar yang beroperasi tanpa memenuhi ketentuan hukum.
"Jika tidak ada intervensi kebijakan, pengusaha lokal semakin terpinggirkan. Padahal merekalah yang selama ini membangun Bali sebagai destinasi wisata dunia," tegasnya.
Sementara itu, pelaku usaha hotel kecil dan menengah berharap adanya program pendampingan dari pemerintah untuk meningkatkan daya saing. Beberapa usulan yang diajukan antara lain kemudahan akses permodalan, pelatihan SDM, serta promosi bersama untuk menarik lebih banyak wisatawan ke akomodasi berbasis lokal.
Menyikapi keluhan ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyatakan akan berkoordinasi dengan pemerintah daerah Bali dan kementerian terkait untuk mencari solusi terbaik. Salah satu opsi yang sedang dikaji adalah penerapan pajak progresif bagi properti sewaan asing dan insentif khusus bagi pengusaha akomodasi lokal.
Industri perhotelan Bali yang selama puluhan tahun menjadi tulang punggung pariwisata nasional kini berada di persimpangan jalan. Tanpa kebijakan yang melindungi pelaku usaha lokal, dikhawatirkan semakin banyak hotel tradisional yang gulung tikar, mengubah wajah pariwisata Bali yang selama ini dibanggakan.