Breaking News :
KanalLogoLogo
Senin, 16 Juni 2025

Property

Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Dinilai Sebagai Bom Waktu Sosial oleh Arsitek

Mita BerlianaMinggu, 15 Juni 2025 13:39 WIB
Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Dinilai Sebagai Bom Waktu Sosial oleh Arsitek

Wacana pemerintah mengecilkan luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi di perkotaan

ratecard

JAKARTA - Wacana pemerintah mengecilkan luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi di perkotaan mendapat kritik tajam dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Kebijakan yang tercantum dalam draf Keputusan Menteri PKP ini, meski bertujuan memperluas akses hunian bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), justru memunculkan kekhawatiran serius tentang kelayakan hidup dan dampak sosial jangka panjang. Kritik semakin menguat setelah Lippo Group memamerkan prototipe rumah subsidi berukuran lebih ekstrem, yakni 14 meter persegi.  

Ketua Umum IAI Georgius Budi Yulianto menyatakan bahwa secara teknis, rumah seluas itu memang bisa dibangun. Namun, ukuran tersebut dinilai tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia perkotaan yang membutuhkan minimal 4,5 meter persegi per individu. "Ini akan menjadi tempat bertahan hidup, bukan ruang untuk tumbuh dan berkembang," ujar Boegar, sapaan akrabnya, Sabtu (14/6). Ia mempertanyakan bagaimana keluarga dengan anak atau lansia dapat beraktivitas normal dalam ruang sempit tersebut.  

Lebih dari sekadar masalah kenyamanan, hunian ultra-mikro ini berpotensi menciptakan konflik sosial. Boegar memperingatkan bahwa ruang terbatas akan memicu ketegangan antarpenghuni, baik dalam rumah tangga maupun lingkungan sekitar. "Ini seperti bom waktu sosial yang siap meledak kapan saja," tegasnya. Dari perspektif perencanaan kota, kebijakan ini justru berisiko memperparah masalah dengan menciptakan kemiskinan ruang - kondisi dimana masyarakat terjebak dalam lingkungan hidup tidak layak meski memiliki tempat tinggal.  

Sementara itu, Kementerian PKP menegaskan bahwa rumah subsidi mini ini akan dibangun di lokasi strategis perkotaan dengan akses transportasi dan fasilitas umum memadai. Namun, para ahli tetap mengkhawatirkan bahwa solusi ini hanya menggeser masalah tanpa menyentuh akar persoalan, yaitu keterjangkauan hunian layak versus kualitas hidup warga kota. Perdebatan ini memunculkan pertanyaan mendasar: seberapa jauh pemerintah dan pengembang harus berkompromi antara keterjangkauan harga dan standar hunian manusiawi di tengah keterbatasan lahan perkotaan.

Pilihan Untukmu