
Dunia internasional sedang menanti dengan waspada respons Iran menyusul serangan Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran pada Minggu (22/6). Serangan yang menggunakan bom penghancur bunker seberat 13 ton ini menargetkan situs pengayaan uranium Fordow yang terletak di bawah gunung.
Ali Akbar Velayati, penasihat Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, menyatakan bahwa semua pangkalan militer AS di kawasan Timur Tengah kini menjadi target sah bagi Iran. "Negara manapun yang digunakan AS untuk menyerang Iran akan kami anggap sebagai target militer yang sah," tegas Velayati melalui siaran IRNA. Namun hingga kini Iran belum melancarkan serangan balasan secara langsung.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi yang berbicara di Istanbul menegaskan bahwa negaranya sedang mempertimbangkan berbagai opsi pembalasan. "Tidak akan ada diplomasi sebelum kami membalas. AS hanya mengerti bahasa kekerasan," ujarnya. Sementara Presiden AS Donald Trump memperingatkan Iran untuk tidak melakukan pembalasan dan menawarkan dua pilihan: berdamai sekarang atau menghadapi serangan lebih besar di masa depan.
Parlemen Iran telah menyetujui rencana penutupan Selat Hormuz, jalur strategis yang dilalui 25% pasokan minyak dunia. Keputusan final menunggu persetujuan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran. Pakar energi memprediksi penutupan selat ini bisa mendorong kenaikan harga minyak 3-5 dolar AS per barel, dengan potensi lonjakan lebih tinggi jika terjadi gangguan pasokan besar-besaran.
Serangan AS ke fasilitas nuklir Fordow, Natanz, dan Isfahan ini merupakan eskalasi terbaru dari konflik yang dipicu serangan Israel ke Iran pada 20 Juni lalu. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan belum mendeteksi peningkatan level radiasi di lokasi serangan, meski dampak kerusakan di fasilitas bawah tanah masih belum bisa dipastikan. Sumber Iran mengklaim sebagian besar uranium yang diperkaya di Fordow telah dipindahkan sebelum serangan.
Dengan situasi yang terus memanas, dunia kini bersiap menghadapi berbagai skenario termasuk kemungkinan serangan siber, sabotase ekonomi, atau konflik militer terbuka di Teluk Persia yang dapat mengguncang stabilitas global.