
YOGYAKARTA - Sekitar 10 ribu warga negara Indonesia (WNI) dilaporkan terlibat dalam jaringan online scam yang tersebar di 10 negara sejak 2020. Dari jumlah itu, sekitar 1.500 di antaranya menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dipaksa bekerja di perusahaan penipuan daring. Kasus terbaru terungkap setelah sejumlah WNI ditangkap kepolisian Kamboja pada 17 Oktober lalu usai berusaha kabur dari tempat kerja online scam.
Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Andreas Budi Widyanta, S.Sos., M.A., atau akrab disapa Abe, menilai fenomena ini tidak lepas dari lemahnya perlindungan negara terhadap pekerja migran Indonesia. Ia menyebut para WNI yang terjebak online scam merupakan bagian dari persoalan struktural tenaga kerja di luar negeri. “Mereka adalah bagian dari persoalan panjang tentang tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang tidak mendapat perlindungan memadai,” ujarnya, Jumat (31/10).
Menurut Abe, pekerja migran kini menghadapi persoalan ganda. Selain berhadapan dengan negara yang abai, mereka juga berhadapan dengan kekuatan korporasi digital yang mengeksploitasi tenaga kerja. Ia menyebut kondisi ini menciptakan spiral kekerasan yang melibatkan negara, majikan, hingga sistem digital. “Negara tidak punya arah jelas dalam mengatur komunikasi dan media digital. Kementerian Kominfo seolah tidak berfungsi dengan baik dalam menangani kasus seperti pinjol ilegal, online scam, dan penyimpangan digital lainnya,” tegasnya.
Abe menilai lemahnya pendidikan literasi digital menjadi faktor utama yang membuat banyak pekerja migran mudah terjebak dalam praktik penipuan daring. Minimnya pengetahuan dan pelatihan teknologi digital membuat mereka rentan dimanfaatkan. “Negara seharusnya memberi training atau pendidikan literasi digital sebelum para pekerja berangkat ke luar negeri,” katanya.
Ia menambahkan, kasus ini juga menunjukkan kelalaian negara dalam menjamin hak-hak dasar warga negara sebagaimana diamanatkan konstitusi. Selain itu, koordinasi lintas kementerian juga dinilai masih lemah, terutama antara Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Tenaga Kerja, serta Kementerian Luar Negeri.
Sebagai solusi, Abe mendorong agar pemerintah menetapkan pelatihan kompetensi digital sebagai syarat wajib bagi seluruh calon pekerja migran. “Pendidikan dasar mengenai kompetensi digital harus menjadi training wajib sebelum mereka berangkat ke luar negeri, dan pemerintah harus mengawasi pelaksanaannya,” pungkasnya.




















