Breaking News :
KanalLogoLogo
Rabu, 03 Desember 2025

Sosial

Bencana Banjir Bandang Sumatera Dipicu Kerusakan Ekosistem Hutan Hulu, Pakar UGM Ingatkan “Dosa Ekologis”

Ima KarimahSelasa, 02 Desember 2025 18:45 WIB
Bencana Banjir Bandang Sumatera Dipicu Kerusakan Ekosistem Hutan Hulu, Pakar UGM Ingatkan “Dosa Ekologis”

Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh pada akhir November 2025

ratecard

YOGYAKARTA – Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh pada akhir November 2025 disebut bukan sekadar akibat hujan ekstrem, melainkan akumulasi kerusakan ekologis di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Pakar hidrologi hutan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Hatma Suryatmojo, menegaskan bahwa hilangnya tutupan hutan di hulu menjadi faktor utama yang memperburuk daya rusak banjir di tiga provinsi tersebut. BNPB mencatat lebih dari 400 korban jiwa serta ratusan permukiman dan infrastruktur vital terdampak, sementara tiga gubernur menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari.

Hatma menjelaskan curah hujan ekstrem yang memicu banjir bandang, termasuk hujan harian di atas 300 mm akibat pengaruh Siklon Tropis Senyar hanya merupakan pemicu awal. Kerusakan hutan di hulu telah menghilangkan fungsi ekologis penting seperti intersepsi, infiltrasi, serta pengendalian erosi. Akibatnya, air hujan tidak terserap dan berubah menjadi limpasan besar yang menghantam kawasan hilir. “Ketika hutan rusak, benteng alami di hulu lenyap dan seluruh volume air bergerak cepat ke bawah, menciptakan banjir bandang,” katanya.

Data yang dikumpulkan dari berbagai lembaga menunjukkan deforestasi masif di sejumlah wilayah hulu Sumatera dalam tiga dekade terakhir. Aceh kehilangan lebih dari 700 ribu hektare hutan sejak 1990, sementara tutupan hutan Sumatera Utara kini tersisa sekitar 29 persen dan terus terdegradasi, termasuk di Ekosistem Batang Toru. Di Sumatra Barat, kehilangan hutan primer dan sekunder mencapai 740 ribu hektare sejak 2001, sehingga membuat lereng Bukit Barisan kian rentan longsor. Hatma menilai kerusakan berlapis di tiga provinsi itu menjadikan bencana November 2025 sebagai salah satu yang terburuk dalam beberapa dekade.

Menurut Hatma, lemahnya pengendalian kawasan dan maraknya alih fungsi hutan menjadi kebun serta aktivitas penebangan ilegal memperburuk kondisi lingkungan di hulu. Material longsor yang menumpuk di sungai membentuk bendungan alami yang mudah jebol, sementara pendangkalan sungai akibat sedimen mengurangi kapasitas tampung aliran air. “Deforestasi dan tekanan ekologis yang terjadi selama bertahun-tahun adalah bom waktu yang akhirnya meledak,” ujarnya.

Ia menilai mitigasi bencana perlu menggabungkan pendekatan struktural, seperti pembangunan tanggul dan normalisasi sungai, dengan langkah ekologis berupa perlindungan hutan dan rehabilitasi DAS. Sisa hutan di kawasan kritis seperti Ekosistem Leuser dan Batang Toru menurutnya harus dipertahankan sebagai “harga mati”. Pemerintah juga didorong memperketat penegakan tata ruang berbasis mitigasi bencana untuk mencegah kerusakan hulu lebih lanjut.

Hatma menekankan bahwa cuaca ekstrem akan semakin sering terjadi akibat perubahan iklim, sehingga kesiapsiagaan mesti diperkuat. Ia menilai sistem peringatan dini BMKG harus direspons cepat oleh pemerintah daerah melalui penataan permukiman rawan dan simulasi evakuasi. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) dapat dipertimbangkan dalam kondisi tertentu, namun tetap bukan solusi utama. “Banjir bandang yang berulang adalah pengingat bahwa keselamatan manusia sangat bergantung pada kelestarian alam. Tanpa perbaikan hulu, bencana serupa akan terus terjadi,” ujarnya

Pilihan Untukmu