
MATARAM - Sejumlah hotel di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), terpaksa menghentikan pemutaran musik di area publik seperti lobi dan restoran akibat beban royalti yang dinilai memberatkan. Ketua PHRI NTB Ni Ketut Wolini mengungkapkan, kebijakan ini diambil karena rendahnya tingkat okupansi hotel di kota yang hanya mencapai 30%, berbeda dengan daerah wisata seperti Gili dan Mandalika yang bisa mencapai 60-80%.
Berdasarkan peraturan Kemenkumham, hotel dikenakan royalti musik sebesar Rp1-16 juta tergantung jumlah kamar dan tipe hotel untuk pemutaran lagu di berbagai fasilitas seperti lobi, restoran, spa, hingga lift. "Ada yang memilih stop karena tidak mampu, sementara okupansi tidak bagus," jelas Wolini, Rabu (13/8/2025).
Wolini menyayangkan kurangnya sosialisasi dari LMKN sebelum mengirimkan formulir pembayaran royalti. Ia menegaskan bahwa pemutaran musik di hotel sebenarnya turut mempromosikan karya musisi. Sebagian hotel yang takut terkena sanksi pidana tetap membayar, sementara yang lain memilih menghentikan pemutaran musik sama sekali.
Kondisi ini memperlihatkan ketimpangan antara hotel di kota yang mengandalkan bisnis MICE dengan hotel di daerah wisata. Saat ada acara pemerintahan, okupansi hotel kota bisa mencapai 100%, namun seringkali berada di bawah 30% di hari biasa. PHRI menyarankan hotel yang mampu segera memenuhi kewajiban royalti, sementara yang belum mampu sebaiknya menghentikan pemutaran musik untuk sementara waktu.