Breaking News :
KanalLogoLogo
Minggu, 25 Mei 2025

Ekbis

Dumping China Bikin Industri Tekstil RI Goyang, BMAD Dinilai Kunci Keselamatan

Mita BerlianaKamis, 22 Mei 2025 13:30 WIB
Dumping China Bikin Industri Tekstil RI Goyang, BMAD Dinilai Kunci Keselamatan

tekstil

ratecard

JAKARTA Di tengah tekanan industri hulu tekstil nasional, pemerintah didesak untuk segera memberi kepastian terkait kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang impor asal China. Ketua Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK-PII), Sripeni Inten Cahyani, menilai lambannya regulasi membuat dua pabrik dalam negeri gulung tikar dan investasi triliunan rupiah mandek.

Menurut laporan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), investasi sebesar USD 250 juta atau sekitar Rp 4 triliun tertahan karena belum adanya perlindungan terhadap produk lokal. Produk Partially Oriented Yarn dan Drawn Textured Yarn (POY-DTY) asal China disebut telah dijual di Indonesia dengan harga dumping, memukul produsen dalam negeri.

Industri Hulu Tekstil dalam Bahaya Serius

Sripeni menekankan pentingnya dukungan pemerintah pada sektor hulu tekstil. Ia menyebut Indonesia memiliki semua komponen penting—sumber daya alam, teknologi, dan SDM—untuk mengembangkan industri ini secara mandiri. Namun, tanpa kepastian hukum dan arah kebijakan, industri lokal justru terancam mati sebelum berkembang.

Temuan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) dari Kementerian Perdagangan yang menunjukkan praktik dumping oleh eksportir asal China memperkuat urgensi pemberlakuan BMAD. Penyelidikan selama hampir setahun membuktikan bahwa produk asal China dijual dengan harga di bawah standar, merusak harga pasar lokal.

BMAD, menurut Sripeni, bukan sekadar tarif tambahan, melainkan strategi besar untuk menjaga kedaulatan industri dalam negeri. Tanpa perlindungan dari praktik perdagangan tidak adil, industri tekstil RI akan semakin bergantung pada impor.

Arah Kebijakan Dianggap Tidak Sejalan

Sripeni menilai bahwa arah kebijakan selama ini justru tidak mendukung industri lokal. “Investasi tidak akan masuk jika pemerintah tidak memberikan sinyal yang tegas,” tegasnya. Industri yang sudah ada justru dipaksa berhenti, sementara pemain asing mendapatkan kemudahan luar biasa.

Ia menyoroti visi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen dan swasembada energi. Menurutnya, hal itu hanya mungkin tercapai jika sektor hulu tumbuh signifikan, termasuk melalui substitusi impor dan hilirisasi industri.

Salah satu contoh adalah peluang pembangunan industri metanol dari batubara kalori rendah yang selama ini belum dimanfaatkan. Saat ini, Indonesia masih mengimpor 1,5 juta ton metanol per tahun—padahal bahan bakunya tersedia dalam negeri.

Substitusi Impor dan TKDN Jadi Solusi

Sripeni juga menyoroti pentingnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagai langkah nyata untuk membangkitkan industri nasional. Ia menegaskan bahwa orientasi tidak boleh hanya pada ekspor, tetapi juga pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri dari produksi lokal.

Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyebut jika BMAD segera diterapkan, industri dalam negeri mampu memproduksi tambahan 200.000 ton POY, jauh di atas kebutuhan impor tahun lalu yang hanya 140.000 ton. Hal ini sekaligus mendukung pembangunan petrochemical complex dan kilang minyak nasional yang diusung pemerintahan saat ini.

Pilihan Untukmu