
DENPASAR - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa salah satu pemicu signifikan di balik lonjakan pengajuan restitusi pajak tahun ini adalah ditemukannya praktik 'penunggang gelap'. Modus ini teridentifikasi dalam pengajuan restitusi pendahuluan, yang dilakukan melalui perusahaan berbasis virtual office atau kantor non-fisik yang profil usahanya tidak sesuai dengan klaim kegiatan bisnisnya. "Kami menemukan ada penunggang gelap di restitusi pendahuluan. Kami telusuri, ternyata ada modus tidak berbasis transaksi sesungguhnya atau transaksi fiktif. Ini sedang kami dalami," ujarnya dalam Media Gathering di Kantor Wilayah Pajak Bali pada Selasa (25/11/2025).
Setelah dilakukan penelusuran, transaksi yang dilakukan oleh entitas tersebut ternyata tidak mencerminkan aktivitas usaha yang nyata. Bimo menegaskan bahwa investigasi masih berlanjut untuk memastikan bahwa pengembalian restitusi hanya diberikan kepada wajib pajak yang benar-benar patuh dan memenuhi syarat. Pemerintah tidak ingin hak dari wajib pajak yang taat justru terganggu akibat ulah pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan celah dalam kebijakan restitusi.
Selain faktor penyelewengan tersebut, Bimo juga menyoroti volatilitas harga komoditas, khususnya di sektor batu bara, sebagai faktor utama lain yang mendorong kenaikan restitusi. Ia memberikan contoh dimana harga batu bara pada periode 2022–2023 bisa mencapai lebih dari 150 dolar AS per ton, namun kini harganya hanya sekitar separuhnya. Kondisi ini menyebabkan banyak wajib pajak mengalami kelebihan bayar yang baru diajukan pengembaliannya pada tahun berikutnya. "Memang panen restitusi ketika di periode berikutnya harga komoditas tidak sebaik di periode sebelumnya," tambah Bimo.
Perubahan kebijakan perpajakan turut disebut sebagai penyebab meningkatnya restitusi. Pasca ditetapkannya batu bara sebagai barang kena pajak berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU Cipta Kerja, pelaku usaha kini dapat mengkreditkan pajak yang telah dibayar, yang pada gilirannya mendorong peningkatan permintaan restitusi.
Untuk memastikan validitas klaim, Bimo mengaku bahwa pihaknya melakukan audit secara sampling guna menelusuri struktur biaya yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. "Ada beberapa yang kita sampling audit, seperti apa struktur cost terbesar yang membuat mereka kelebihan membayar pajak," ucap Bimo.
Meski terdapat indikasi penyalahgunaan, kebijakan restitusi pendahuluan akan tetap dipertahankan karena dinilai penting untuk menjaga likuiditas dunia usaha, suatu manfaat yang telah terasa sejak masa pandemi COVID-19. “Fasilitas ini diberikan untuk membantu cashflow wajib pajak patuh agar perputaran dana di masyarakat tetap cepat,” pungkas Bimo.
Sebelumnya, Bimo telah menjelaskan bahwa realisasi penerimaan pajak neto sepanjang Januari-Oktober 2025 mencapai Rp 1.459,03 triliun, atau setara dengan 70,2 persen dari target tahunan. Angka ini mengalami penurunan sebesar 3,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 1.517,54 triliun. Dalam periode yang sama, pengajuan restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh wajib pajak tercatat mencapai Rp 340,52 triliun, suatu angka yang meningkat signifikan dibandingkan realisasi tahun lalu sebesar Rp 249,59 triliun.




















