
JAKARTA - Belanja online memang diminati, tapi belanja offline tidak bisa dilupakan begitu saja. Sebab, kerap beredar anggapan tren belanja online dengan kemudahannya bakal menggeser dan mematikan tren belanja offline ke pusat perbelanjaan. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBI), Alphonzus Widjaja, mengungkapkan, belanja secara langsung rupanya masih banyak peminatnya.
"Porsi belanja online kan masih belum optimal karena kenapa? Online itu kan salah satunya, logistik harus murah, harus efisien," ucap Alphonzus saat ditemui di Kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Jakarta Pusat, Jumat (21/11/2025). Belanja secara daring memang lebih memudahkan dari segi waktu dan lokasi. Sering kali, harga yang ditawarkan pun lebih murah, mengingat penjual tidak perlu mengeluarkan uang untuk menyewa ruko.
Meski begitu, tidak semua orang diuntungkan dan dimudahkan dari belanja secara daring. Sebab, tidak semua toko berada di daerah yang sama dengan pembeli. Bisa saja toko berada di kota, kabupaten, bahkan pulau yang berbeda. "Indonesia kan negara kepulauan, jadi biaya logistiknya (ongkos kirim) masih mahal," tutur Alphonzus. Meskipun berada di kota, kabupaten, atau pulau yang sama, belum tentu jasa pengiriman yang dipilih, cepat dalam mengirim barang. Ada berbagai faktor yang bisa membuat pengiriman barang menjadi lama, seperti jarak tempuh dari gudang menuju alamat pembeli, permasalahan teknis di tengah jalan, sampai akses yang sulit ke alamat yang dituju. "Karena biaya logistik menjadi sangat signifikan, penting, saya kira tetap belanja offline masih mendominasi (di daerah-daerah tertentu)," sambung dia.
Terlepas dari metode yang dipilih, belanja adalah salah satu kegiatan yang bisa membuat seseorang merasa bahagia. Tidak heran, ada orang-orang yang senang belanja ketika sedang sedih. "Penelitian menyimpulkan bahwa ada efek terapeutik dan psikologi saat kita berbelanja, tapi tentunya jika dilakukan dalam skala sedang," kata psikolog Dr. Scott Bea dalam pemberitaan Kompas.com pada Selasa (8/8/2023). Efek dari terapi belanja itu akan didapatkan saat mengunjungi toko favorit selama beberapa waktu, atau ketika menelusuri situs belanja dan jari-jari kita memindahkan barang ke "keranjang". "Bahkan window shopping atau browsing di aplikasi belanja bisa meningkatkan rasa bahagia di otak. Tapi sekali lagi, pastikan tidak berlebihan berbelanja," papar Bea.
Alasan pertama mengapa berbelanja dapat mengubah emosi negatif menjadi positif adalah mengembalikan rasa kendali. Studi menunjukkan bahwa membuat keputusan membeli sebuah barang bisa meningkatkan rasa kendali kita terhadap lingkungan sekitar. Hal ini juga dapat menurunkan rasa sedih. "Berbagai penelitian menyebut saat kita merasa kondisi tidak sesuai dengan keinginan, mendapatkan sebuah barang yang kita inginkan bisa terasa sebagai pencapaian personal yang positif," kata Bea.
Belanja juga merangsang indera. Aroma barang yang baru, cahaya yang terang dan display penuh warna di etalase akan menciptakan imajinasi, perasaan sensori yang mengalihkan kita dari kenyataan, meski itu hanya sejenak. "Shopping dan stimulasi sensorik membuat kita mem-visualisasikan sesuatu yang positif," katanya. Hanya melihat-lihat etalase toko online atau pun window shopping ternyata berdampak positif pada mood. Hal ini terjadi karena otak melepaskan hormon dopamin yang mendatangkan rasa bahagia. Yang menarik, dopamin ternyata sudah dilepaskan saat kita baru melihat-lihat barang, bahkan sebelum transaksi pembelian benar-benar dilakukan.




















