
PALEMBANG - Konflik penertiban lahan di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, Riau, terus memanas tanpa titik terang. Pemerintah melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) berupaya mengembalikan fungsi hutan, sementara ribuan warga yang telah lama tinggal dan bergantung pada kebun kelapa sawit di area tersebut menolak kebijakan relokasi. Ketegangan pun kerap mewarnai aksi protes di sejumlah permukiman dalam kawasan TNTN.
Akar konflik ini berawal dari aksi penyegelan yang dilakukan Satgas PKH pada 10 Juni 2025. Dipimpin Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, satgas menyegel area seluas 81.793 hektare yang diklaim sebagai bagian Taman Nasional dan memintanya dikosongkan paling lambat 22 Agustus 2025. Warga mengaku terkejut dengan penyegelan ini, karena sebelumnya petugas hanya melakukan pendataan dan sosialisasi dengan jaminan aktivitas masyarakat tidak akan diganggu.
Eskalasi konflik meningkat seiring intensnya kunjungan anggota Satgas PKH yang bahkan membawa senjata laras panjang. Kebijakan penertiban tidak hanya berhenti pada penyegelan dan imbauan relokasi mandiri. Portal dipasang di permukiman, tanaman sawit dimusnahkan, pabrik dilarang membeli buah sawit dari kawasan TNTN, PLN diminta memutus listrik, dan larangan penerimaan murid baru di sekolah negeri dalam kawasan turut diberlakukan.
Menilik sejarahnya, lanskap Tesso Nilo seluas 337.500 hektare awalnya ditetapkan sebagai Hutan Produksi Terbatas. Kawasan ini telah lama berubah sejak era 1970-an dengan hadirnya izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk perusahaan seperti PT DM dan PT NM, yang total konsesinya mencapai 211.000 hektare. Berbagai perubahan izin dan alih fungsi lahan terus terjadi, termasuk munculnya 13 izin Hutan Tanaman Industri (HTI) pada periode 1996–2009.
Desakan untuk konservasi membawa pada penetapan Taman Nasional Tesso Nilo secara bertahap. Tahap pertama seluas 38.576 hektare ditetapkan pada 2004, meski laporan BBKSDA Riau 2006 menyebut kondisi areanya sudah tidak utuh akibat adanya tanaman akasia, kebun sawit, dan kebun masyarakat. Perluasan tahap kedua kemudian disepakati hingga total TNTN mencapai 81.793 hektare, yang dikukuhkan melalui SK Menteri Kehutanan pada 28 Oktober 2014. Ironisnya, saat penunjukan, ribuan hektare di dalamnya telah lebih dulu dikelola masyarakat.
Kebijakan penertiban saat ini berdampak langsung pada enam desa: Segati, Bukit Kusuma, Gondai, Lubuk Kembang Bunga, Air Hitam, dan Bagan Limau. Warga yang kini dicap sebagai perambah hutan merasa terpojok. Mereka menilai penegakan hukum yang terjadi tidak komprehensif karena hanya menyasar masyarakat, sementara kelalaian pemerintah kehutanan dan pelanggaran oleh perusahaan di masa lalu tidak turut diselesaikan.
Juru Bicara Warga TNTN, Abdul Aziz, menyatakan bahwa warga sebenarnya tidak berniat menghalangi penertiban kawasan hutan dan justru mendukungnya. Namun, ia menekankan pentingnya proses yang berkeadilan. "Tidak selamanya rakyat yang bersalah atas kawasan hutan itu," ujarnya. Warga meminta penegakan hukum dilakukan secara menyeluruh dan tanpa tebang pilih. Mereka berjanji akan siap pergi dari TNTN jika suatu saat tidak ada lagi regulasi yang mendukung mereka untuk bertahan, asalkan keadilan benar-benar ditegakkan.




















