
JAKARTA - Hakim nonaktif Djuyamto divonis 11 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (3/12/2025), karena terbukti menerima suap dalam kasus penanganan perkara yang melibatkan tiga korporasi crude palm oil (CPO). “Mengadili, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara,” ujar Hakim Ketua Effendi saat membacakan amar putusan. Djuyamto terbukti telah menerima suap senilai sekitar Rp 9,2 miliar.
Dua hakim anggota yang turut mengadili perkara yang sama, yaitu Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, juga dinyatakan bersalah menerima suap masing-masing sebesar Rp 6,4 miliar. Keduanya juga dijatuhi hukuman yang sama, yaitu 11 tahun penjara plus denda Rp 500 juta dengan subsider 6 bulan penjara. Selain hukuman pokok, ketiga terdakwa juga diwajibkan membayar uang pengganti sesuai dengan jumlah suap yang diterima. Namun, karena sebagian uang telah dikembalikan selama proses persidangan, besaran denda pengganti dan hukuman tambahannya akan menyesuaikan jumlah yang belum atau tidak dapat dibayarkan.
Majelis hakim menyatakan bahwa ketiga hakim tersebut telah terbukti bersalah karena tidak melaporkan upaya suap yang mereka terima kepada Badan Pengawas Mahkamah Agung, padahal mereka seharusnya menjaga integritas sebagai penegak hukum. Buktinya, setelah menerima uang suap, perhatian mereka terhadap perkara CPO menjadi jauh lebih intensif. Uang suap tersebut tidak diberikan langsung oleh pihak korporasi, melainkan disalurkan melalui mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, yang saat kasus terjadi menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Atas perantara Arif Nuryanta, majelis hakim kemudian menjatuhkan vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi CPO, sesuai permintaan yang disampaikan pengacara mereka, Ariyanto Bakri.
Perkara ini dinilai telah mencederai citra Mahkamah Agung dan proses penegakan hukum di Indonesia. Terdakwa dijerat dengan Pasal 6 Ayat (2) juncto Pasal 18 Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Seluruh kasus ini berawal ketika Ariyanto Bakri menghubungi Panitera Muda PN Jakarta Utara nonaktif, Wahyu Gunawan, untuk mencari kenalan di PN Jakarta Pusat guna mempengaruhi putusan. Wahyu kemudian memperkenalkan Ariyanto kepada Arif Nuryanta, yang akhirnya menjadi perantara antara pengacara dengan majelis hakim. Berdasarkan perhitungan hakim, total uang suap yang beredar mencapai 2 juta dolar AS atau sekitar Rp 39-40 miliar, yang dibagi-bagikan dalam dua tahap pada Mei dan Oktober 2024. Selain Djuyamto, Agam, dan Ali, Arif Nuryanta disebut menerima Rp 14,7 miliar, sementara Wahyu Gunawan menerima Rp 2,3 miliar.




















