
JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) menegaskan bahwa fenomena Rojali (rombongan jarang beli) di pusat perbelanjaan tidak mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Direktur Bina Usaha Perdagangan Kemendag, Septo Soepriyatno, menyatakan daya beli masyarakat masih terjaga, merujuk pada Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) Bank Indonesia Mei 2025 yang menunjukkan Indeks Penjualan Riil (IPR) tumbuh 1,9% year-on-year (yoy).
"Meski ada kontraksi bulanan, kondisinya lebih baik dibanding April. Fenomena nongkrong di mal memang memengaruhi IPR, tetapi ini tidak bisa disimpulkan sebagai penurunan daya beli karena banyak faktor lain yang terlibat," jelas Septo, Senin (21/7/2025).
Menurut Septo, Rojali justru menunjukkan perubahan pola konsumsi masyarakat yang kini memanfaatkan mal tidak hanya untuk berbelanja, tetapi juga sebagai ruang publik dan tempat rekreasi. Fenomena ini dapat dimanfaatkan pelaku ritel dengan mengubah strategi bisnis, seperti memperbanyak penyewa di sektor gaya hidup serta makanan dan minuman (FnB).
"Kami melihat ini sebagai sinyal positif bahwa masyarakat kembali ke pusat belanja, sekaligus peluang bagi ritel untuk bertransformasi dengan model bisnis yang lebih adaptif dan terintegrasi digital," tambahnya.
Data MarkPlus 2024 menunjukkan 58,74% konsumen cenderung jarang beli secara langsung. Septo menduga, banyak dari Rojali sebenarnya melakukan *showrooming*—memeriksa barang secara fisik sebelum membelinya secara online. Selain itu, transaksi di sektor FnB juga meningkat, menunjukkan bahwa meski terlihat hanya nongkrong, masyarakat tetap berkonsumsi dengan jenis produk yang berbeda.
Fenomena Rojali sebelumnya sempat dikeluhkan pemilik kafe di Yogyakarta, Agus Arya, yang menyoroti kebiasaan mahasiswa yang datang ke kafe hanya untuk memakai WiFi tanpa memesan makanan atau minuman. Namun, Kemendag menekankan bahwa hal ini lebih mencerminkan perubahan perilaku konsumen daripada indikator ekonomi yang melemah.