KanalLogoLogo
Kamis, 23 Januari 2025

Ekbis

Kebijakan PPN 12% 2025, Konsumen rasa terbebani rencanakan Frugal Living

Reggina PingkanJumat, 22 November 2024 03:50 WIB
 Kebijakan PPN 12% 2025, Konsumen rasa terbebani rencanakan Frugal Living

Sumber: Hasil Tangkapan Layar Pinterest @sahrulbdv. Ilustrasi kenaikan pajak

ratecard

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan berlaku mulai tahun depan menuai banyak perhatian. Kebijakan PPN yang akan diwacanakan naik menjadi 12% tahun depan dianggap sebagai kebijakan yang kontra produktif dengan rencana pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan. Para pakar ekonomi menilai, langkah ini tidak hanya membebani masyarakat, tetapi juga berpotensi melemahkan daya beli serta memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.

Ahmad Heri Firdaus, peneliti dari INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), menjelaskan bahwa kenaikan PPN akan menggerus daya beli karena akan menekan segala lini rantai pasok ekonomi, apalagi tak ada kompensasi dalam kenaikan tersebut. Hal ini menambah kekhawatiran masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, yang sudah menghadapi tekanan ekonomi pasca pandemi.

Dalam catatan INDEF, kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% beberapa tahun lalu telah menunjukkan dampak negatif. Jika tarif ini naik menjadi 12%, kontraksi pada ekonomi Indonesia diprediksi semakin terasa. Berdasarkan penelitian Ahmad Heri Firdaus, pertumbuhan ekonomi akan mengalami kontraksi jika tetap dinaikkan menjadi 12% tahun depan. Angka kontraksi tersebut mencapai 0,17% terhadap PDB dan akan turut menggerus konsumsi rumah tangga sebesar 0,26%.

“Jadi, selain pertumbuhan ekonomi yang akan turun 0,17% dari bisnis as usual, konsumsi rumah tangganya juga akan turun 0,26%. Jadi kalau misalnya pertumbuhan ekonomi kita 5%, nah gara-gara ada kenaikan PPN kemungkinan akan turun kurang dari 5%, menjadi 4,83% pertumbuhan ekonomi kita gara-gara ada kenaikan PPN,” ucap Ahmad Heri Firdaus.

Kontraksi ekonomi seperti ini tentu bukan hal yang bisa dianggap sepele. Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi pilar utama perekonomian Indonesia, akan berpengaruh secara signifikan. Ketika masyarakat terpaksa memangkas pengeluaran, dampaknya akan merembet ke sektor lain, seperti perdagangan, jasa, hingga investasi.

Dalam menghadapi kebijakan ini, masyarakat mulai mengadopsi gaya hidup hemat atau frugal living. Pola konsumsi yang lebih bijak dianggap sebagai solusi untuk tetap bertahan di tengah tekanan ekonomi. Mulai dari pengurangan belanja yang tidak mendesak hingga beralih ke produk lokal dengan harga terjangkau, masyarakat mencoba menyeimbangkan kebutuhan dan pengeluaran.

Namun, kebijakan yang terlalu membebani masyarakat justru bisa menjadi bumerang. Indef berharap pemerintah dapat konsisten dengan arah kebijakan yang mendukung daya beli sebagaimana telah dilakukan dengan memberikan insentif PPN ditanggung pemerintah di sektor perumahan dan otomotif. Kebijakan seperti ini terbukti mampu merangsang pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan daya beli masyarakat.

(Gin)

Pilihan Untukmu