
JAKARTA - Fenomena pengibaran bendera One Piece oleh sebagian masyarakat, terutama sopir truk, menjelang peringatan HUT ke-80 RI memicu berbagai tanggapan. Anggota DPR Fraksi Partai Golkar Firman Soebagyo menyebutnya sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintah dan kemerosotan pemahaman ideologi negara. Namun, pakar hukum tata negara memberikan perspektif berbeda.
Prof. Sunny Ummul Firdaus dari UNS menilai penafsiran aksi ini sebagai bentuk pembangkangan perlu dikaji lebih hati-hati. "Tidak semua tindakan simbolik warga bisa serta-merta ditafsirkan sebagai aksi politik," ujarnya. Menurutnya, fenomena ini lebih tepat dipahami sebagai ekspresi heroisme imajinatif yang mengangkat nilai-nilai seperti keberanian dan solidaritas.
Prof. Sunny menyarankan pemerintah merespons dengan pendekatan kultural, bukan stigmatisasi. "Ajak mereka berdialog: mengapa menyukai tokoh Luffy? Bisa jadi itu cara mereka menyampaikan harapan atas negara yang lebih adil," jelasnya. Ia menekankan bahwa nilai-nilai dalam cerita One Piece seperti membela yang lemah dan melawan ketidakadilan justru selaras dengan Pancasila.
Secara hukum, UU No. 24/2009 tentang Bendera Negara tidak melarang pengibaran bendera non-negara selama tidak mencemarkan kehormatan bendera Merah Putih. "Selama bendera lain tidak dikibarkan sejajar atau lebih tinggi dari Merah Putih, secara hukum tidak ada pelanggaran," tegas Prof. Sunny.
Pakar ini menegaskan pentingnya memahami perubahan ekspresi nasionalisme generasi muda. "Nasionalisme tidak harus seragam, tapi bisa beragam dalam bentuk. Yang penting adalah menjaga kehormatan Merah Putih sebagai simbol sakral bangsa," pungkasnya. Pendekatan edukasi dan dialog dinilai lebih efektif daripada penghakiman terhadap ekspresi budaya populer.