Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming menyoroti sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan skema zonasi, yang telah menjadi kontroversi sejak penerapannya. Gibran mengungkapkan, selama masa jabatannya sebagai Wali Kota Solo, dirinya pernah mengirimkan surat kepada Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, terkait keluhan dari masyarakat mengenai kebijakan zonasi dan berbagai isu lain dalam pendidikan, termasuk program Merdeka Belajar dan kebijakan ujian nasional. Namun, hingga saat ini, ia menyebut bahwa surat tersebut tidak pernah direspons oleh Kemendikbud Ristek.
"Ini adalah surat yang saya kirim, waktu saya masih jadi wali kota. Saya kirim surat ini ke Pak Menteri Pendidikan, tapi kemarin saya cek ke Pak Sekda dan kepala dinas yang ada di Solo, surat ini belum mendapat tanggapan mengenai masalah zonasi, masalah program Merdeka Belajar, masalah pengawas sekolah, masalah ujian nasional," ucap Gibran saat memberikan pengarahan kepada para kepala dinas pendidikan se-Indonesia di Hotel Sheraton, Jakarta Selatan, Senin (11/11/2024).
Dalam pernyataannya, Gibran juga mengapresiasi perbedaan pendekatan yang ditunjukkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah yang baru, Abdul Mu’ti, yang ia nilai lebih terbuka dan kooperatif. “Pak Menteri yang sekarang beda. Kemarin pulang dari Akmil Magelang, kita langsung koordinasi dan klik untuk menyelesaikan masalah zonasi ini,” ujarnya.
Sistem zonasi yang mulai diterapkan pada tahun 2017 melalui Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 bertujuan untuk mereduksi perbedaan kasta dalam dunia pendidikan yang sering melabeli sekolah-sekolah favorit atau unggulan. Namun, di lapangan, implementasi kebijakan ini tidak berjalan mulus. Banyak ditemukan penyalahgunaan sistem oleh oknum yang mencoba mengakali aturan dengan mengubah alamat pada kartu keluarga agar dapat mendaftar di sekolah yang diinginkan. Dalam beberapa kasus, praktik seperti jual beli kursi bahkan muncul, di mana orang tua rela membayar sejumlah uang agar anak mereka diterima di sekolah tertentu.
Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, menyatakan bahwa pihaknya tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan terkait kebijakan zonasi ini. “Semangat dari zonasi tentu sangat kita apresiasi karena pelayanan pendidikan yang bermutu untuk semua dapat diberikan di lingkungan sekolah yang dekat dengan tempat tinggal para murid. Tapi memang di lapangan, kami mendapatkan banyak masukan, terkait dengan persoalan-persoalan teknis dan juga persoalan yang berkaitan dengan mutu layanan pendidikan di sekolah-sekolah sebelum dan sesudah zonasi diterapkan,” ungkap Mu’ti.
Sistem zonasi memang telah menciptakan perubahan signifikan dalam pola penerimaan siswa baru. Jika sebelumnya masyarakat terbiasa memilih sekolah berdasarkan prestise atau reputasi sekolah tertentu, sistem zonasi menggeser paradigma tersebut. Namun, pergeseran ini tidak sepenuhnya diterima dengan baik oleh masyarakat. Sebagian pihak menilai bahwa sistem zonasi malah mengurangi kualitas pendidikan di beberapa wilayah, terutama di daerah-daerah yang kurang memiliki infrastruktur pendidikan yang memadai.
Kebijakan ini juga dikeluhkan oleh sejumlah orang tua karena dinilai tidak adil, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah dengan sekolah-sekolah yang fasilitasnya terbatas. Mereka merasa bahwa sistem ini membatasi akses anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas di sekolah-sekolah unggulan. Bagi sebagian besar orang tua di perkotaan, label sekolah favorit tetap menjadi faktor penentu dalam memilih tempat belajar anak mereka. Kondisi ini memunculkan celah yang sering dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan praktik ilegal, seperti jual beli kursi di sekolah tertentu
(Gin)