Breaking News :
KanalLogoLogo
Selasa, 15 April 2025

Opini

Di Balik Label Hijau, Ada Dilema antara Kesadaran dan Konsumsi

Reggina PingkanSabtu, 12 April 2025 21:02 WIB
Di Balik Label Hijau, Ada Dilema antara Kesadaran dan Konsumsi

Dilema kesadaran konsumsi Image generate by ChatGPT (OpenAI)

ratecard

Oleh Reggina Pingkan, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang


Dalam beberapa tahun terakhir, pasar global dibanjiri produk-produk yang membawa embel-embel “ramah lingkungan”. Mulai dari deterjen, botol minum, hingga fashion, semuanya berlomba-lomba tampil “eco-friendly”. Tapi pertanyaannya, apakah kita benar-benar membeli produk itu demi bumi? Atau hanya karena strategi pemasaran hijau yang cerdik?

Fenomena ini disebut sebagai green marketing, yakni strategi pemasaran yang menekankan pada citra ramah lingkungan dari suatu produk atau merek. Di satu sisi, green marketing bisa menjadi jembatan antara produsen dan konsumen dalam mendorong perilaku berkelanjutan. Namun di sisi lain, tak sedikit perusahaan yang memanfaatkan tren ini untuk menarik simpati tanpa benar-benar peduli terhadap dampak lingkungannya. Inilah yang dikenal sebagai greenwashing—sebuah bentuk manipulasi komunikasi lingkungan yang sangat meresahkan.


Konsumerisme Tidak Hilang, Hanya Berganti Wajah

Salah satu ironi terbesar dari gaya hidup “hijau” saat ini adalah bahwa konsumsi tetap menjadi poros utama. Kita membeli lebih banyak botol stainless baru, totebag kain, atau baju berbahan bambu, padahal fungsi produk lama kita belum tentu hilang. Laporan dari World Wildlife Fund (WWF) tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 60% konsumen mengaku membeli produk ramah lingkungan, namun 45% dari mereka tetap meningkatkan jumlah barang yang mereka konsumsi setiap tahun.

Ini menunjukkan bahwa yang berubah hanya labelnya, bukan perilakunya. Gaya hidup berkelanjutan sejatinya bukan tentang membeli lebih banyak barang “eco-friendly”, tetapi mengurangi konsumsi secara keseluruhan. Tanpa pemahaman ini, masyarakat hanya berpindah dari konsumerisme konvensional ke konsumerisme hijau yang semu.


Label Hijau: Edukasi atau Manipulasi?

Konsumen saat ini dibanjiri label seperti “organik”, “alami”, “bebas bahan kimia”, “biodegradable”, hingga “net zero”. Namun sayangnya, tidak semua label tersebut memiliki dasar regulasi atau audit yang ketat. Sebuah studi oleh TerraChoice Group di Amerika Serikat menemukan bahwa 98% produk dengan klaim ramah lingkungan mengandung unsur greenwashing (2010).

Label yang tidak jelas standar dan pengukurannya akan menyesatkan konsumen. Dalam komunikasi lingkungan, ini merupakan bentuk komunikasi persuasif yang manipulatif, karena konsumen dipengaruhi oleh visual hijau, logo daun, atau kalimat-kalimat yang memberi rasa bersalah bila tidak ikut membeli.


Kurangnya Literasi Lingkungan di Kalangan Konsumen

Salah satu akar masalah dari ketidakefektifan green marketing adalah minimnya literasi lingkungan di masyarakat. Banyak konsumen belum mampu membedakan mana produk yang benar-benar berdampak positif terhadap lingkungan dan mana yang sekadar menjual narasi hijau. Ini diperparah dengan ketidakterbukaan informasi dari produsen dan kurangnya edukasi dari pihak pemerintah maupun lembaga independen.

Teori Agenda Setting dalam komunikasi massa menjelaskan bahwa media dan iklan memiliki kekuatan besar dalam membentuk fokus perhatian publik. Ketika produk dikemas dalam narasi heroik penyelamatan bumi, konsumen yang tidak kritis akan mudah percaya bahwa dengan membeli, mereka telah cukup berkontribusi. Padahal, dalam kenyataannya, produk-produk ini bisa saja hanya “ramah lingkungan” di permukaan.


Haruskah Kita Berhenti Membeli Produk Hijau?

Tentu tidak. Ada banyak brand yang memang berusaha menjaga keberlanjutan melalui rantai pasok yang etis, penggunaan energi terbarukan, dan pengelolaan limbah yang bertanggung jawab. Namun, kita sebagai konsumen perlu lebih kritis. Tanyakan: Apakah saya membeli karena butuh atau karena tren? Apakah merek ini transparan tentang produksinya? Kekuatan terbesar kita bukan hanya pada pilihan produk, tapi pada kesadaran memilih dan membatasi.


Terakhir 

Apakah kita benar-benar membeli demi bumi? Jawabannya bergantung pada seberapa sadar kita terhadap dampak dari setiap transaksi. Green marketing seharusnya menjadi jembatan antara konsumsi dan keberlanjutan, bukan sekadar kamuflase bagi praktik kapitalisme baru. Sudah saatnya kita lebih dari sekadar konsumen hijau kita harus menjadi warga bumi yang kritis.

Kita hidup di era di mana penyelamatan bumi dijual dalam bentuk diskon dan kemasan lucu. Ironisnya, yang dibeli bukan solusi, melainkan rasa puas semu. Kita merasa telah berkontribusi, padahal seringkali hanya mengganti plastik dengan kertas, tanpa mengurangi konsumsi sama sekali. Dunia tidak butuh lebih banyak produk hijau dunia butuh lebih sedikit sampah dan lebih banyak kesadaran. Jika bumi bisa bicara, mungkin ia akan berkata: aku tidak butuh kamu jadi konsumen ramah lingkungan. Aku butuh kamu berhenti rakus. Dan mungkin, itu adalah hal paling radikal yang bisa kita lakukan hari ini.


(GIN)

Pilihan Untukmu