
SURABAYA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur meminta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tidak memberikan legalitas Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk Sound Horeg. Permintaan ini tercantum dalam lampiran Fatwa MUI Jatim Nomor 1 Tahun 2025 tentang penggunaan Sound Horeg, yang menyatakan bahwa legalitas tidak boleh diberikan sebelum ada komitmen perbaikan dan penyesuaian sesuai aturan.
Fatwa tersebut juga memuat tiga rekomendasi lain. Pertama, MUI Jatim meminta penyedia jasa, event organizer, dan pihak terkait untuk menghormati hak orang lain, ketertiban umum, serta norma agama. Kedua, pemerintah provinsi diimbau menginstruksikan kabupaten/kota membuat aturan penggunaan alat pengeras suara, termasuk perizinan, standar penggunaan, dan sanksi. Ketiga, masyarakat diminta memilih hiburan positif yang tidak melanggar norma agama maupun hukum.
Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim KH Makruf Khozin membenarkan keluarnya fatwa ini. "MUI Jatim sudah mengeluarkan fatwa terkait fenomena Sound Horeg," ujarnya pada Senin (14/7). Fatwa tersebut mengharamkan Sound Horeg karena dinilai membahayakan kesehatan, merusak fasilitas umum, dan menimbulkan kebisingan melebihi ambang batas. Selain itu, aktivitas "battle sound" atau adu volume juga diharamkan karena dianggap menyia-nyiakan harta.
Sebelumnya, Kakanwil Kemenkumham Jatim Haris Sukamto justru mendukung pendaftaran HAKI untuk Sound Horeg, menganggapnya sebagai karya kreatif anak bangsa. Namun, menurutnya, HAKI akan diberikan kepada komunitas, bukan perorangan, karena Sound Horeg merupakan hasil kolaborasi banyak pihak.
Fatwa MUI Jatim ini memicu perdebatan antara kepentingan pelestarian budaya musik keras khas Jawa Timur dengan dampak negatif yang ditimbulkannya, seperti gangguan kesehatan dan kerusakan fasilitas publik. Pemerintah daerah kini diharapkan segera membuat regulasi yang menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan ketertiban masyarakat.