Dalam pemungutan suara yang digelar pada Sabtu sore waktu Korea Selatan, Presiden Yoon Suk Yeol berhasil lolos dari ancaman pelengseran oleh Majelis Nasional. Pelengseran butuh ⅔ anggota majelis nasional atau 200 dari 300 anggota, namun dari total 192 anggota oposisi yang mengajukan mosi, hanya tiga anggota partai berkuasa yang memilih untuk mendukung langkah tersebut.
Kondisi ini menciptakan kegaduhan politik yang signifikan, terutama setelah sebelumnya Yoon mengeluarkan kebijakan kontroversial berupa darurat militer yang hanya bertahan selama 6 jam. Kebijakan tersebut memicu keresahan publik dan memperkuat dukungan terhadap mosi pelengseran.
Keputusan mendadak memberlakukan darurat militer yang hanya bertahan selama 6 jam menjadi akar dari keresahan politik yang terjadi saat ini. Langkah tersebut dikritik luas oleh berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis, dan politisi. Mereka menganggap kebijakan itu tidak memiliki dasar yang kuat dan justru memperburuk situasi di tengah krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
Oposisi menggunakan kebijakan ini sebagai salah satu alasan utama dalam mosi pelengseran yang diajukan. Menurut mereka, tindakan tersebut mencerminkan kurangnya kemampuan presiden dalam mengelola krisis dan menjaga stabilitas negara.
Kegagalan mosi pelengseran diprediksi akan memicu gelombang unjuk rasa yang semakin besar di berbagai kota di Korea Selatan. Warga yang kecewa dengan hasil pemungutan suara berpotensi memperpanjang tekanan terhadap pemerintah.
Meskipun mosi kali ini gagal, pihak oposisi tidak patah semangat. Mereka berencana mengajukan mosi baru setelah sesi parlemen berikutnya dimulai pada Rabu, 11 Desember 2024. Strategi ini menunjukkan tekad oposisi untuk terus menekan pemerintahan Yoon, yang dianggap gagal memenuhi harapan rakyat.
Ketegangan ini diperkirakan akan mempengaruhi stabilitas politik dan ekonomi Korea Selatan dalam beberapa bulan mendatang. Banyak pengamat menilai situasi ini sebagai ujian berat bagi pemerintahan Yoon Suk Yeol.
(Gin)