
JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mempertimbangkan pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pemerintah daerah yang mendapatkan predikat Kota Kotor dalam penghargaan Adipura. Sekretaris Utama KLH, Rosa Vivien Ratnawati, menyatakan bahwa pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait kebijakan disinsentif ini.
"Kami tidak bisa memberikan sanksi langsung kepada daerah, jadi salah satu opsi yang kami pertimbangkan adalah pengurangan anggaran," ujar Rosa dalam konferensi pers di Jakarta Timur, Kamis (10/7).
Saat ini, KLH tengah mendampingi 343 pengelola Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan sistem open dumping. Rosa menegaskan bahwa pengelola TPA yang tidak beralih ke sistem sanitary landfill atau control landfill akan dikeluarkan dari penilaian Adipura.
"Jika tidak ada perubahan, seperti tetap menggunakan open dumping, mereka tidak akan masuk dalam penilaian. Namun, jika beralih ke sistem yang lebih baik seperti control landfill atau mengembangkan fasilitas bank sampah, mereka tetap berpeluang dinilai," jelasnya.
Di sisi lain, daerah yang meraih Adipura Kencana atau predikat kota terbersih berhak mendapatkan insentif. Penilaian mencakup sistem pengelolaan sampah, kebijakan daerah, serta kesiapan SDM dan infrastruktur.
"Konsep saat ini berfokus pada pengurangan sampah dari sumber, peran masyarakat, serta penerapan pemilahan dan daur ulang yang lebih progresif," tambah Rosa.
KLH juga akan mengevaluasi fasilitas seperti Material Recovery Facility (MRF), TPS 3R, dan pusat daur ulang. Daerah yang tidak memenuhi standar berisiko mendapat predikat Kota Kotor.
"Pengumuman predikat Kota Kotor diharapkan mendorong perubahan. Sosialisasi akan dilakukan di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota mulai Juni, pendampingan teknis Agustus-Oktober 2025, pemantauan November 2025, dan pengumuman final Februari 2026," papar Rosa.
Adipura kini menjadi bagian dari kebijakan strategis nasional, mengadopsi konsep waste-to-energy. Pemerintah sedang merevisi Perpres Nomor 35 Tahun 2018 untuk mempercepat pembangunan instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik.
"Kota dengan produksi sampah di atas 1.000 ton akan diwajibkan mengembangkan PLTSa berbasis teknologi ramah lingkungan," tutup Rosa.