
JAKARTA - Fenomena Flat Menteng sebagai hunian terjangkau di kawasan elite Jakarta memicu perbandingan dengan konsep co-housing dan co-living yang sudah populer di Amerika Serikat dan Eropa. Syarifah Syaukat, Senior Research Advisor Knight Frank Indonesia, menjelaskan perbedaan mendasar antara ketiganya.
Co-housing yang berkembang sejak 1960-an di Eropa menekankan konsep komunitas dengan fasilitas bersama seperti dapur dan taman, meski setiap keluarga memiliki unit privat. "Prinsip utamanya gotong royong dan partisipasi aktif," jelas Sarie. Sedangkan co-living lebih populer di kota besar seperti New York dan London, menawarkan kamar privat dengan fasilitas bersama untuk profesional muda.
Flat Menteng dinilai tidak sepenuhnya mengadopsi kedua konsep tersebut. Proyek ini lebih mirip compact living ala Tokyo atau Hong Kong dengan adaptasi sistem koperasi khas Indonesia. Setiap unit memiliki fasilitas pribadi lengkap, sementara fasilitas umum seperti taman digunakan bersama.
Keunikan Flat Menteng terletak pada tiga aspek: sistem koperasi yang membuat harga jauh di bawah pasar, kesediaan pemilik lahan berbagi hak pakai, dan model pengelolaan berbasis solidaritas ekonomi. "Ini membuktikan solusi hunian terjangkau di pusat kota bisa terwujud melalui inovasi," ujar Sarie.
Profil penghuni ideal Flat Menteng adalah kalangan menengah-atas yang ingin tinggal di pusat kota dengan biaya terjangkau dan memiliki nilai solidaritas tinggi. Keberhasilan konsep ini sangat bergantung pada kesepahaman antarpenghuni, menjadikannya tidak sekadar proyek properti tapi juga eksperimen sosial.
Sementara co-housing dan co-living sudah menjadi tren global, Flat Menteng menunjukkan bahwa Indonesia bisa mengembangkan model hunian alternatif yang disesuaikan dengan karakteristik lokal, meski belum sepenuhnya mengadopsi konsep hunian komunal ala Barat.